“Ayam Goreng Untuk Adel”
Pagi buta samar terdengar suara
gaduh dalam rumah kecil yang sempit ini,
“uhuk,uhuk,uhuk”
“Bapak berisik!
Adel masih ngantuk”, bentak ku yang semakin berusaha tertidur kembali dengan
menutupkan bantal ke kepala.
“Uhuk,uhuk,uhuk”
Lagi-lagi suara
Bapak mengganggu lelapku.
Dengan rasa
kesal dan kantuk menyelimuti, ku hampiri Bapak.
“Bapak tuh bisa
diem gak sih? Berisik! Adel masih ngantuk! Batuk Bapak tuh kenceng banget!”
“Maaf nak,
Banpak ganggu tidurmu. Tenggorokan Bapak sakit. Tolong ambilkan air minum”
ujarnya.
“Iya tunggu
sebentar. Tapi jangan batuk-batuk terus. Berisik!”
Aku bergegas ke dapur, sekaligus
tempat dimana semua barang-barang hasil memulung disimpan untuk mengambil air
minum. Ya, memang rumah ku kecil. Benar-benar kecil bahkan mungkin hanya
sepetak ruangan yang disekat oleh triplek-triplek bekas menjadi 3 tempat. Kamar
ku dan kak Nida, Kamar Bapak, dan tempat berkumpul.
Ku raih gelas
dan ceret yang biasa dipakai untuk air minum.
“Loh, kok
kosong?” gerutuku.
Heuh pasti kak
Nida lupa masak air. Kemana dia sekarang?
“Kak Nida… Kak…
kakak…”teriak ku sembari menuju keluar rumah mencarinya.
“pasti kak Nida
lagi nyuci” ujarku dalam hati.
Dan benar saja,
kak Nida sedang mencuci pakaian dibelakang rumah. Tempatnya bukan di kamar
mandi seperti orang-orang pada umumnya. Ya, karena kami tidak mempunyainya.
Yang ada hanya sekatan ruangan tanpa atap yang jatuh langsung ke sungai. Tepat
sekali, kami hidup dipemukiman sekitar bantaran sungai Ciliwung.
“Kak… kakak
belum masak air ya?”
“Iya Adel, kakak
lupa”
“Bapak tuh batuk
terus, minta air minum”
“Ya ampun, bapak
sakit Del?”
Aku tak menjawab
hanya diam dan mangadahkan tangan yang menandakan ketidak tahuanku. Sedangkan
kak Nida segera bergegas menuju kamar Bapak.
Aku duduk termenung dipinggiran
sungai, tiba-tiba muncul bayangan kejadian kemarin siang.
“Del, kamu tahu
gak ini apa namanya?” ujar akmal,
“Heh, aneh-aneh
saja kamu Mal. Dia mana tahu itu apaan” ucap Yudi meledek
“Ya iyalah,
selama ini kan Adel kalau makan Cuma nasi dicampur sama garam saja. Pantas
kalau dia gak tahu apa dan bagaimana rasanya ayam goreng” sindir jail Hani
sembari tertawa.
Aku merasa kesal
sekali terhadap mereka. Namun apa daya, memang benar aku belum pernah merasa
makan ayam goreng. Terkadang nasi saja dari nasi sisa (aking).
“Del, kakak
pergi cari barang bekas dulu. Jagain Bapak” ujar kak Nida membuyarkan
lamunanku.
“Loh, kok kak
Nida yang kerja? Emang Bapak sakit?” sahutku balik bertanya.
“Iya gak
apa-apa, kasihan Bapak sakit begitu kalau harus kerja”
“Oh ya, kakak
sudah masak nasi. Kalau Adel lapar ambil saja, jangan fikirkan kakak…”
“Ah, palingan
nasi aking campur garam lagi” ucapku memotong pembicaraan kak Nida.
Kak Nida
terdiam, hanya menghela nafas dan menatapku dalam.
“Pokoknya Adel
gak mau makan kalau tidak ada ayam goreng!”
Lagi-lagi kak
Nida hanya diam, dan bergegaspergi dengan mata berkaca-kaca.
Pagi kini berlalu menjelang siang.
Perutku sudah berbunyi, aku lapar! Tapi aku tidak mau makan sebelum ada ayam
goreng!
Ku putuskan
pergi dari rumah meninggalkan Bapak yang sedang terbaring sakit. Ah, apa peduli
ku! Aku mau cari kak Nida agar dia bias segera pulang dan membawa ayam goreng
pesanan ku.
Panas terik matahari mulai
menyengat, jauh ku berjalan mencari kak Nida. Rasa lapar ku mulai hilang dan
berganti menjadi pusing yang memberatkan kepala. Aku putuskan untuk duduk
sebentar diemperan took sekitar pasar.
Tiba-tiba
seorang ibu yang berjalan didepanku berhenti, dan memberikan selembar uang
seribu rupiah kepadaku. Astaga! Aku disangka pengemis oleh ibu itu. Aku teringat
akan pesan bapak.
“Nak, jangan
pernah mengadahkan tanganmu mengharapkan belas kasihan orang lain. Meskipun
kita hidup susah!”
Aku mngejar
ibu-ibu tadi, bermaksud akan mengembalikan uang pemberiannya. Tapi sayang,
langkah ibu tadi seolah secepat hembusan angin berlalu diantara padatnya
orang-orang.
Tak disengaja aku melihat kak Nida!
Dia sedang bekerja membersihkan mobil pickup.
“Haaah,
syukurlah kak Nida kerja tak hanya memulung! Berarti dia bias belikan aku ayam
goreng” pikirku. Aku segera mempercepat langkahku bermaksud hendak
menghampirinya. Namun, langkahku terhenti…
“Ah, ngapain aku
kesana? Nanti malah menganggu kak Nida kerja” gerutu ku.
“Mending aku
balik ke rumah atau main ke tempat Akmal, Yudi, dan Hani. Memberi tahu bahwa
aku juga akan segera bisa mencicipi rasa ayam goreng yang menurut cerita mereka
rasanya enak dan gurih itu” yakin ku dalam hati, bergegas lari dengan perasaan
senang.
Sesampainya ditempat Akmal, Yudi,
dan Hani. Dengan riang aku menghampiri mereka,
“Mal, Yud, Ni …
hari ini aku juga akan makan ayam goreng yang enak itu” ujarku dengan wajah
sumringah.
Mereka tak
menjawab hanya saling memandang, lalu tertawa terbahak mendengar ceritaku.
“Kenapa kalian
malah menertawakanku?” ujar ku keheranan
“Kamu?” ujar
Hani,
“Makan ayam
goreng yang enak?” sahut Yudi,
“Mana mungkin,
uang darimana? Buat makan nasi saja susah. Mau so bilang makan ayam goreng”
terus Akmal tersenyum sinis.
Aku sangat kesal
mendengar ejekan mereka.
“Kalian lihat
saja nanti, aku akan bawa ayam goreng ku dari kak Nida kehadapan kalian!”
Sore itu aku
tidak bergabung bermain bersama mereka, karena aku sangat kesal! Aku hanya
duduk sendiri menunggu langit sore dan berharap ketika pulang, ayam goreng
pesananku sudah tersedia.
Langit berubah menjadi gelap, aku
segera beranjak pulang.
“Kak Nida… Adel
pulang! Mana ayam goreng pesanan Adel” teriak ku.
Tak ada jawaban,
sepertinya rumah kosong. Ku cari ke semua ruangan, namun tak ada orang. Bapak
pun tak ada ditempat tidurnya. Aku coba mencari ke belakang rumah, benar saja
aku menemukan kan Nida sedang duduk dipinggir sungai.
“Kak…” teriak
ku.
Kak Nida hanya
menoleh sebentar, lantas terdiam. Aku hampiri dia,
“Kak, mana ayam
goreng pesanan Adel?”
Kak Nida hanya
terdiam, dengan mata sembab berair dan ku lihat dia mengenggam sebotol obat
yang biasa Bapak minum.
“Bapak kemana
kak?”
Lagi-lagi tak
ada suara, kak Nida hanya menggelengkan kepala. Ah, apa peduliku. Yang
terpenting aku dapat segera memakan ayam goreng nikmat yang sudah aku
bayangkan masuk kedalam perut kecil ku.
“Kak… ayo, mana
ayam gorengnya?” ujarku dengan setengah menarik paksa tangannya.
Ku tuntun dia
sampai didalam rumah.
“Ayo kak, mana
ayam gorengnya! Adel sudah gak sabar ingin memakannya didepan Akmal, Yudi, dan
Hani”
“Ambil saja di
meja, dibawah tudung saji” ucap kak Nida lemas
Dengan perasaan
sumringah segera ku buka tudung saji itu.
“Apa? Apa-apaan
ini kak! Ini bukan ayam goreng!” sambil ku lempar ke depan wajah kak Nida
karena kesal.
“Itu hanya nasi
yang sengaja kakak goreng membentuk seperti ayam goreng!” bentak ku.
Kak Nida hanya
diam tertunduk dan samar aku dengar isak tangisnya. Tapi untuk saat ini, yang
aku inginkan hanya ayam goreng itu! Sebab jika tidak, teman-teman ku akan
semakin mengolok-olok ku! Aku tak bisa membayangkan betapa malunya aku.
“Mana uang hasil
kerjanya kak?”
“Jangan diam
terus seperti ini kak…”
Aku maah, ya
marah sejadi-jadinya. Aku lempar piring seng yang lusuh tempat ayam goreng
palsu itu!
“Adel, hentikan!
Kamu tahu, kakak kerja dari pagi sampai larut malam demi nasi itu? Kakak
kumpulkan sisa-sisa beras yang berserakan dimobil dan ubin di toko beras tempat
kakak kerja. Lalu uang upahnya kakak belikan obat untuk Bapak” tutur kak Nida
ballik membentak ku dengan menghentakkan tangannya ke meja yg reot itu.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh
seperti ada yang jatuh. Akuk dan kak Nida menoleh dan… ternyata itu Bapak jatuh
tepat didepan rumah.
“Bapak…” teriak
kami berdua
“Pak, Bapak
kenapa keluar rumah! Nida kan sudah bilang, biar Nida yang kerja. Bapak tidur
saja” Ucap kak Nida dg suara tersekat ditenggorokan dan airmata membanjiri
pipinya.
“Lagian, tahu
lagi sakit. Masih saja so kuat keluar” ujar ku kesal.
“Bapak keluar
rumah cari kerja apa saja untuk membeli ayam goreng ini” ucap Bapak pelan
dengan menyodorkan bungkusan kecil dalam plastik hitam.
“Bapak sempat
mendengar permintaan Adel tadi pagi…”
“Tapi pak,
seharusnya Bapak tidak usah kerja. Bapak lagi sakit” ucap kak Nida sembari
menangis
“Taka pa, Adel…
ambil ini nak, ayam goreng pesananmu. Maafkan Bapak jika selama ini belum
pernah memberi kalian makanan yang enak”
“Nida, Bapak
titip adikmu. Jaga dia baik-baik. Mungkin mulai dari sekarang dan seterusnya,
Bapak tidak bisa menemani kalian lagi…” sambungnya dengan nafas terengah-engah,
lalu… menghembuskan nafas terakhirnya
“Tidak… Bapak…”
jerit kami berdua, merangkul Bapak yang sudah terbujur kaku.
Rasa penyesalan yang amat dalam
menyelimuti, karena ayam goreng yang aku bayangkan nikmat. Berubah menjadi ayam
goreng petaka yang mengantarkan Bapak ketempat peristirahatan terakhirnya.
Karya
: Reza Selawati Fauziah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar