Kamis, 05 Februari 2015

Cepen Tema - Kesenjangan Sosial

“Ayam Goreng Untuk Adel”

            Pagi buta samar terdengar suara gaduh dalam rumah kecil yang sempit ini,
“uhuk,uhuk,uhuk”
“Bapak berisik! Adel masih ngantuk”, bentak ku yang semakin berusaha tertidur kembali dengan menutupkan bantal ke kepala.
“Uhuk,uhuk,uhuk”
Lagi-lagi suara Bapak mengganggu lelapku.
Dengan rasa kesal dan kantuk menyelimuti, ku hampiri Bapak.
“Bapak tuh bisa diem gak sih? Berisik! Adel masih ngantuk! Batuk Bapak tuh kenceng banget!”
“Maaf nak, Banpak ganggu tidurmu. Tenggorokan Bapak sakit. Tolong ambilkan air minum” ujarnya.
“Iya tunggu sebentar. Tapi jangan batuk-batuk terus. Berisik!”

            Aku bergegas ke dapur, sekaligus tempat dimana semua barang-barang hasil memulung disimpan untuk mengambil air minum. Ya, memang rumah ku kecil. Benar-benar kecil bahkan mungkin hanya sepetak ruangan yang disekat oleh triplek-triplek bekas menjadi 3 tempat. Kamar ku dan kak Nida, Kamar Bapak, dan tempat berkumpul.
Ku raih gelas dan ceret yang biasa dipakai untuk air minum.
“Loh, kok kosong?” gerutuku.
Heuh pasti kak Nida lupa masak air. Kemana dia sekarang?
“Kak Nida… Kak… kakak…”teriak ku sembari menuju keluar rumah mencarinya.
“pasti kak Nida lagi nyuci” ujarku dalam hati.
Dan benar saja, kak Nida sedang mencuci pakaian dibelakang rumah. Tempatnya bukan di kamar mandi seperti orang-orang pada umumnya. Ya, karena kami tidak mempunyainya. Yang ada hanya sekatan ruangan tanpa atap yang jatuh langsung ke sungai. Tepat sekali, kami hidup dipemukiman sekitar bantaran sungai Ciliwung.
“Kak… kakak belum masak air ya?”
“Iya Adel, kakak lupa”
“Bapak tuh batuk terus, minta air minum”
“Ya ampun, bapak sakit Del?”
Aku tak menjawab hanya diam dan mangadahkan tangan yang menandakan ketidak tahuanku. Sedangkan kak Nida segera bergegas menuju kamar Bapak.

            Aku duduk termenung dipinggiran sungai, tiba-tiba muncul bayangan kejadian kemarin siang.
“Del, kamu tahu gak ini apa namanya?” ujar akmal,
“Heh, aneh-aneh saja kamu Mal. Dia mana tahu itu apaan” ucap Yudi meledek
“Ya iyalah, selama ini kan Adel kalau makan Cuma nasi dicampur sama garam saja. Pantas kalau dia gak tahu apa dan bagaimana rasanya ayam goreng” sindir jail Hani sembari tertawa.
Aku merasa kesal sekali terhadap mereka. Namun apa daya, memang benar aku belum pernah merasa makan ayam goreng. Terkadang nasi saja dari nasi sisa (aking).
“Del, kakak pergi cari barang bekas dulu. Jagain Bapak” ujar kak Nida membuyarkan lamunanku.
“Loh, kok kak Nida yang kerja? Emang Bapak sakit?” sahutku balik bertanya.
“Iya gak apa-apa, kasihan Bapak sakit begitu kalau harus kerja”
“Oh ya, kakak sudah masak nasi. Kalau Adel lapar ambil saja, jangan fikirkan kakak…”
“Ah, palingan nasi aking campur garam lagi” ucapku memotong pembicaraan kak Nida.
Kak Nida terdiam, hanya menghela nafas dan menatapku dalam.
“Pokoknya Adel gak mau makan kalau tidak ada ayam goreng!”
Lagi-lagi kak Nida hanya diam, dan bergegaspergi dengan mata berkaca-kaca.

            Pagi kini berlalu menjelang siang. Perutku sudah berbunyi, aku lapar! Tapi aku tidak mau makan sebelum ada ayam goreng!
Ku putuskan pergi dari rumah meninggalkan Bapak yang sedang terbaring sakit. Ah, apa peduli ku! Aku mau cari kak Nida agar dia bias segera pulang dan membawa ayam goreng pesanan ku.
            Panas terik matahari mulai menyengat, jauh ku berjalan mencari kak Nida. Rasa lapar ku mulai hilang dan berganti menjadi pusing yang memberatkan kepala. Aku putuskan untuk duduk sebentar diemperan took sekitar pasar.
Tiba-tiba seorang ibu yang berjalan didepanku berhenti, dan memberikan selembar uang seribu rupiah kepadaku. Astaga! Aku disangka pengemis oleh ibu itu. Aku teringat akan pesan bapak.
“Nak, jangan pernah mengadahkan tanganmu mengharapkan belas kasihan orang lain. Meskipun kita hidup susah!”
Aku mngejar ibu-ibu tadi, bermaksud akan mengembalikan uang pemberiannya. Tapi sayang, langkah ibu tadi seolah secepat hembusan angin berlalu diantara padatnya orang-orang.

            Tak disengaja aku melihat kak Nida! Dia sedang bekerja membersihkan mobil pickup.
“Haaah, syukurlah kak Nida kerja tak hanya memulung! Berarti dia bias belikan aku ayam goreng” pikirku. Aku segera mempercepat langkahku bermaksud hendak menghampirinya. Namun, langkahku terhenti…
“Ah, ngapain aku kesana? Nanti malah menganggu kak Nida kerja” gerutu ku.
“Mending aku balik ke rumah atau main ke tempat Akmal, Yudi, dan Hani. Memberi tahu bahwa aku juga akan segera bisa mencicipi rasa ayam goreng yang menurut cerita mereka rasanya enak dan gurih itu” yakin ku dalam hati, bergegas lari dengan perasaan senang.

            Sesampainya ditempat Akmal, Yudi, dan Hani. Dengan riang aku menghampiri mereka,
“Mal, Yud, Ni … hari ini aku juga akan makan ayam goreng yang enak itu” ujarku dengan wajah sumringah.
Mereka tak menjawab hanya saling memandang, lalu tertawa terbahak mendengar ceritaku.
“Kenapa kalian malah menertawakanku?” ujar ku keheranan
“Kamu?” ujar Hani,
“Makan ayam goreng yang enak?” sahut Yudi,
“Mana mungkin, uang darimana? Buat makan nasi saja susah. Mau so bilang makan ayam goreng” terus Akmal tersenyum sinis.
Aku sangat kesal mendengar ejekan mereka.
“Kalian lihat saja nanti, aku akan bawa ayam goreng ku dari kak Nida kehadapan kalian!”
Sore itu aku tidak bergabung bermain bersama mereka, karena aku sangat kesal! Aku hanya duduk sendiri menunggu langit sore dan berharap ketika pulang, ayam goreng pesananku sudah tersedia.

            Langit berubah menjadi gelap, aku segera beranjak pulang.
“Kak Nida… Adel pulang! Mana ayam goreng pesanan Adel” teriak ku.
Tak ada jawaban, sepertinya rumah kosong. Ku cari ke semua ruangan, namun tak ada orang. Bapak pun tak ada ditempat tidurnya. Aku coba mencari ke belakang rumah, benar saja aku menemukan kan Nida sedang duduk dipinggir sungai.
“Kak…” teriak ku.
Kak Nida hanya menoleh sebentar, lantas terdiam. Aku hampiri dia,
“Kak, mana ayam goreng pesanan Adel?”
Kak Nida hanya terdiam, dengan mata sembab berair dan ku lihat dia mengenggam sebotol obat yang biasa Bapak minum.
“Bapak kemana kak?”
Lagi-lagi tak ada suara, kak Nida hanya menggelengkan kepala. Ah, apa peduliku. Yang terpenting aku dapat segera memakan ayam goreng nikmat yang sudah aku bayangkan masuk kedalam perut kecil ku.
“Kak… ayo, mana ayam gorengnya?” ujarku dengan setengah menarik paksa tangannya.
Ku tuntun dia sampai didalam rumah.
“Ayo kak, mana ayam gorengnya! Adel sudah gak sabar ingin memakannya didepan Akmal, Yudi, dan Hani”
“Ambil saja di meja, dibawah tudung saji” ucap kak Nida lemas
Dengan perasaan sumringah segera ku buka tudung saji itu.
“Apa? Apa-apaan ini kak! Ini bukan ayam goreng!” sambil ku lempar ke depan wajah kak Nida karena kesal.
“Itu hanya nasi yang sengaja kakak goreng membentuk seperti ayam goreng!” bentak ku.
Kak Nida hanya diam tertunduk dan samar aku dengar isak tangisnya. Tapi untuk saat ini, yang aku inginkan hanya ayam goreng itu! Sebab jika tidak, teman-teman ku akan semakin mengolok-olok ku! Aku tak bisa membayangkan betapa malunya aku.
“Mana uang hasil kerjanya kak?”
“Jangan diam terus seperti ini kak…”
Aku maah, ya marah sejadi-jadinya. Aku lempar piring seng yang lusuh tempat ayam goreng palsu itu!
“Adel, hentikan! Kamu tahu, kakak kerja dari pagi sampai larut malam demi nasi itu? Kakak kumpulkan sisa-sisa beras yang berserakan dimobil dan ubin di toko beras tempat kakak kerja. Lalu uang upahnya kakak belikan obat untuk Bapak” tutur kak Nida ballik membentak ku dengan menghentakkan tangannya ke meja yg reot itu.

            Tiba-tiba terdengar suara gaduh seperti ada yang jatuh. Akuk dan kak Nida menoleh dan… ternyata itu Bapak jatuh tepat didepan rumah.
“Bapak…” teriak kami berdua
“Pak, Bapak kenapa keluar rumah! Nida kan sudah bilang, biar Nida yang kerja. Bapak tidur saja” Ucap kak Nida dg suara tersekat ditenggorokan dan airmata membanjiri pipinya.
“Lagian, tahu lagi sakit. Masih saja so kuat keluar” ujar ku kesal.
“Bapak keluar rumah cari kerja apa saja untuk membeli ayam goreng ini” ucap Bapak pelan dengan menyodorkan bungkusan kecil dalam plastik hitam.
“Bapak sempat mendengar permintaan Adel tadi pagi…”
“Tapi pak, seharusnya Bapak tidak usah kerja. Bapak lagi sakit” ucap kak Nida sembari menangis
“Taka pa, Adel… ambil ini nak, ayam goreng pesananmu. Maafkan Bapak jika selama ini belum pernah memberi kalian makanan yang enak”
“Nida, Bapak titip adikmu. Jaga dia baik-baik. Mungkin mulai dari sekarang dan seterusnya, Bapak tidak bisa menemani kalian lagi…” sambungnya dengan nafas terengah-engah, lalu… menghembuskan nafas terakhirnya
“Tidak… Bapak…” jerit kami berdua, merangkul Bapak yang sudah terbujur kaku.

            Rasa penyesalan yang amat dalam menyelimuti, karena ayam goreng yang aku bayangkan nikmat. Berubah menjadi ayam goreng petaka yang mengantarkan Bapak ketempat peristirahatan terakhirnya.


Karya : Reza Selawati Fauziah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar