Senin, 09 Februari 2015

Puisi Religi

"Kebesaran Cinta-Mu"

 

Lelah ku menjalani hidup ini

Mengukir semua kepalsuan ini

Bukan ini yang aku inginkan,

Bukan!


Ya Rabb...

AKu ingin kembali kepada-Mu

Karena Engkau terasa begitu dekat

Penuh dengan kasih sayang


Disetiap nafasku,

Disetiap detak jantung ku,

Engkau selalu ada...

Menyapaku dengan kasih-Mu


Ya Jabbar...

Ampunilah hamba-Mu ini,

Hamba-mu yang berlumur dosa

 

Setiap wajah, mendamba cinta-Mu

Karena hanya Engkaulah

Muara Cinta yang sesungguhnya

Karya : Reza Selawati Fauziah

Minggu, 08 Februari 2015

Puisi - yang ada dalam novel ku yang berjudul "Sekeping Bingkai Keheningan"

Kamu bukan Mahadewa ataupun Arjuna...

Kamu asli,

Kamu nyata,

Kamu bukan pulasan,

Kamu sari dalam oyster,

Kamu berlian yanng belum terasah,

Kamu... Impianku

Tetapi kamu bukan untuk ku,

Karena kamu monster,

Makhluk yang ditakuti

Orang-orang disekitarku,

Karena kamu jujur dengan rasa dan hasrat

Hanya jiwaku yang bisa 

Menyatu dengan alam pikiranmu,

Melebur dengan keindahan nurani

Yang terapung dibawah pori-pori kulitmu yang suci...

Kamu bukan untuk ku,

Karena kamu monster...

Akupun mencintai monster

 

Karya : Reza Selawati Fauziah

 

 

Puisi

"PERADABAN"

Karya :Reza Selawati Fauziah 


 Lahap aku menimbang genggaman dalam tagar penghabisan

Sampai seganku mendobrak watas tegaknya kepala


diantara buku-buku tua

Yang menggantung ke tengah gurun pasir

Raib...

Dihempas pedati yang ditumpangi iblis-iblis kesepian

Sungguh...

Hangat penantian merebahkan keasinganku

Dalam timbunan ampas Wangi

yang anyar dibangun

 

Tiba...


Kapan?

Ku bungkukkan badan,

menyapu pijakan dengan tanah

Dengangkan syair Illahi

dalam surau kesepian

yang lama ku campakkan,


Astaghfirullah...

Aku.

Fakir dalam jeritan zaman

Jumat, 06 Februari 2015

Surat Kecil Teruntuk Ayahanda

Dear : Ayah ...


Aku hanya memanggilmu, ayah... -_-

Aku butuh sosokmu sekarang disini, tak ada yang menjaga dan melindungiku.

Aku sendirian ditengah orang-orang yang mencibirku...


Aku ingin tetap tegar dan berkata "It's oke, I'm fine" tapi, aku masih terlalu rapuh ayah...

Luka yang kau goreskan masih terasa begitu pedih.


Ajarkan aku untuk bisa tetap berdiri kuat seperti karang dilaut meski diterpa deruan ombak.


Sekarang umurku sudah 20thn ayah, apa ayah tau itu?

Ingin rasanya bisa berada dipelukanmu saat orang-orang menghujam ku dengan pedang tajam itu.

Aku lelah ayah... Apa ayah bisa mendengar tangisanku?

Aku merindukanmu,

 

Tapi sesaat aku bisa berubah begitu membencimu, jika mengingat semua luka itu...

 

Semoga ayah bisa membaca isi sepenggal surat kecil ku ini dan berjanjilah... Tak akan ada lagi tangisan seorang anak yang jatuh karenamu ayah.

 

From : Anakmu yang terlupakan



Kamis, 05 Februari 2015

Cepen Tema - Kesenjangan Sosial

“Ayam Goreng Untuk Adel”

            Pagi buta samar terdengar suara gaduh dalam rumah kecil yang sempit ini,
“uhuk,uhuk,uhuk”
“Bapak berisik! Adel masih ngantuk”, bentak ku yang semakin berusaha tertidur kembali dengan menutupkan bantal ke kepala.
“Uhuk,uhuk,uhuk”
Lagi-lagi suara Bapak mengganggu lelapku.
Dengan rasa kesal dan kantuk menyelimuti, ku hampiri Bapak.
“Bapak tuh bisa diem gak sih? Berisik! Adel masih ngantuk! Batuk Bapak tuh kenceng banget!”
“Maaf nak, Banpak ganggu tidurmu. Tenggorokan Bapak sakit. Tolong ambilkan air minum” ujarnya.
“Iya tunggu sebentar. Tapi jangan batuk-batuk terus. Berisik!”

            Aku bergegas ke dapur, sekaligus tempat dimana semua barang-barang hasil memulung disimpan untuk mengambil air minum. Ya, memang rumah ku kecil. Benar-benar kecil bahkan mungkin hanya sepetak ruangan yang disekat oleh triplek-triplek bekas menjadi 3 tempat. Kamar ku dan kak Nida, Kamar Bapak, dan tempat berkumpul.
Ku raih gelas dan ceret yang biasa dipakai untuk air minum.
“Loh, kok kosong?” gerutuku.
Heuh pasti kak Nida lupa masak air. Kemana dia sekarang?
“Kak Nida… Kak… kakak…”teriak ku sembari menuju keluar rumah mencarinya.
“pasti kak Nida lagi nyuci” ujarku dalam hati.
Dan benar saja, kak Nida sedang mencuci pakaian dibelakang rumah. Tempatnya bukan di kamar mandi seperti orang-orang pada umumnya. Ya, karena kami tidak mempunyainya. Yang ada hanya sekatan ruangan tanpa atap yang jatuh langsung ke sungai. Tepat sekali, kami hidup dipemukiman sekitar bantaran sungai Ciliwung.
“Kak… kakak belum masak air ya?”
“Iya Adel, kakak lupa”
“Bapak tuh batuk terus, minta air minum”
“Ya ampun, bapak sakit Del?”
Aku tak menjawab hanya diam dan mangadahkan tangan yang menandakan ketidak tahuanku. Sedangkan kak Nida segera bergegas menuju kamar Bapak.

            Aku duduk termenung dipinggiran sungai, tiba-tiba muncul bayangan kejadian kemarin siang.
“Del, kamu tahu gak ini apa namanya?” ujar akmal,
“Heh, aneh-aneh saja kamu Mal. Dia mana tahu itu apaan” ucap Yudi meledek
“Ya iyalah, selama ini kan Adel kalau makan Cuma nasi dicampur sama garam saja. Pantas kalau dia gak tahu apa dan bagaimana rasanya ayam goreng” sindir jail Hani sembari tertawa.
Aku merasa kesal sekali terhadap mereka. Namun apa daya, memang benar aku belum pernah merasa makan ayam goreng. Terkadang nasi saja dari nasi sisa (aking).
“Del, kakak pergi cari barang bekas dulu. Jagain Bapak” ujar kak Nida membuyarkan lamunanku.
“Loh, kok kak Nida yang kerja? Emang Bapak sakit?” sahutku balik bertanya.
“Iya gak apa-apa, kasihan Bapak sakit begitu kalau harus kerja”
“Oh ya, kakak sudah masak nasi. Kalau Adel lapar ambil saja, jangan fikirkan kakak…”
“Ah, palingan nasi aking campur garam lagi” ucapku memotong pembicaraan kak Nida.
Kak Nida terdiam, hanya menghela nafas dan menatapku dalam.
“Pokoknya Adel gak mau makan kalau tidak ada ayam goreng!”
Lagi-lagi kak Nida hanya diam, dan bergegaspergi dengan mata berkaca-kaca.

            Pagi kini berlalu menjelang siang. Perutku sudah berbunyi, aku lapar! Tapi aku tidak mau makan sebelum ada ayam goreng!
Ku putuskan pergi dari rumah meninggalkan Bapak yang sedang terbaring sakit. Ah, apa peduli ku! Aku mau cari kak Nida agar dia bias segera pulang dan membawa ayam goreng pesanan ku.
            Panas terik matahari mulai menyengat, jauh ku berjalan mencari kak Nida. Rasa lapar ku mulai hilang dan berganti menjadi pusing yang memberatkan kepala. Aku putuskan untuk duduk sebentar diemperan took sekitar pasar.
Tiba-tiba seorang ibu yang berjalan didepanku berhenti, dan memberikan selembar uang seribu rupiah kepadaku. Astaga! Aku disangka pengemis oleh ibu itu. Aku teringat akan pesan bapak.
“Nak, jangan pernah mengadahkan tanganmu mengharapkan belas kasihan orang lain. Meskipun kita hidup susah!”
Aku mngejar ibu-ibu tadi, bermaksud akan mengembalikan uang pemberiannya. Tapi sayang, langkah ibu tadi seolah secepat hembusan angin berlalu diantara padatnya orang-orang.

            Tak disengaja aku melihat kak Nida! Dia sedang bekerja membersihkan mobil pickup.
“Haaah, syukurlah kak Nida kerja tak hanya memulung! Berarti dia bias belikan aku ayam goreng” pikirku. Aku segera mempercepat langkahku bermaksud hendak menghampirinya. Namun, langkahku terhenti…
“Ah, ngapain aku kesana? Nanti malah menganggu kak Nida kerja” gerutu ku.
“Mending aku balik ke rumah atau main ke tempat Akmal, Yudi, dan Hani. Memberi tahu bahwa aku juga akan segera bisa mencicipi rasa ayam goreng yang menurut cerita mereka rasanya enak dan gurih itu” yakin ku dalam hati, bergegas lari dengan perasaan senang.

            Sesampainya ditempat Akmal, Yudi, dan Hani. Dengan riang aku menghampiri mereka,
“Mal, Yud, Ni … hari ini aku juga akan makan ayam goreng yang enak itu” ujarku dengan wajah sumringah.
Mereka tak menjawab hanya saling memandang, lalu tertawa terbahak mendengar ceritaku.
“Kenapa kalian malah menertawakanku?” ujar ku keheranan
“Kamu?” ujar Hani,
“Makan ayam goreng yang enak?” sahut Yudi,
“Mana mungkin, uang darimana? Buat makan nasi saja susah. Mau so bilang makan ayam goreng” terus Akmal tersenyum sinis.
Aku sangat kesal mendengar ejekan mereka.
“Kalian lihat saja nanti, aku akan bawa ayam goreng ku dari kak Nida kehadapan kalian!”
Sore itu aku tidak bergabung bermain bersama mereka, karena aku sangat kesal! Aku hanya duduk sendiri menunggu langit sore dan berharap ketika pulang, ayam goreng pesananku sudah tersedia.

            Langit berubah menjadi gelap, aku segera beranjak pulang.
“Kak Nida… Adel pulang! Mana ayam goreng pesanan Adel” teriak ku.
Tak ada jawaban, sepertinya rumah kosong. Ku cari ke semua ruangan, namun tak ada orang. Bapak pun tak ada ditempat tidurnya. Aku coba mencari ke belakang rumah, benar saja aku menemukan kan Nida sedang duduk dipinggir sungai.
“Kak…” teriak ku.
Kak Nida hanya menoleh sebentar, lantas terdiam. Aku hampiri dia,
“Kak, mana ayam goreng pesanan Adel?”
Kak Nida hanya terdiam, dengan mata sembab berair dan ku lihat dia mengenggam sebotol obat yang biasa Bapak minum.
“Bapak kemana kak?”
Lagi-lagi tak ada suara, kak Nida hanya menggelengkan kepala. Ah, apa peduliku. Yang terpenting aku dapat segera memakan ayam goreng nikmat yang sudah aku bayangkan masuk kedalam perut kecil ku.
“Kak… ayo, mana ayam gorengnya?” ujarku dengan setengah menarik paksa tangannya.
Ku tuntun dia sampai didalam rumah.
“Ayo kak, mana ayam gorengnya! Adel sudah gak sabar ingin memakannya didepan Akmal, Yudi, dan Hani”
“Ambil saja di meja, dibawah tudung saji” ucap kak Nida lemas
Dengan perasaan sumringah segera ku buka tudung saji itu.
“Apa? Apa-apaan ini kak! Ini bukan ayam goreng!” sambil ku lempar ke depan wajah kak Nida karena kesal.
“Itu hanya nasi yang sengaja kakak goreng membentuk seperti ayam goreng!” bentak ku.
Kak Nida hanya diam tertunduk dan samar aku dengar isak tangisnya. Tapi untuk saat ini, yang aku inginkan hanya ayam goreng itu! Sebab jika tidak, teman-teman ku akan semakin mengolok-olok ku! Aku tak bisa membayangkan betapa malunya aku.
“Mana uang hasil kerjanya kak?”
“Jangan diam terus seperti ini kak…”
Aku maah, ya marah sejadi-jadinya. Aku lempar piring seng yang lusuh tempat ayam goreng palsu itu!
“Adel, hentikan! Kamu tahu, kakak kerja dari pagi sampai larut malam demi nasi itu? Kakak kumpulkan sisa-sisa beras yang berserakan dimobil dan ubin di toko beras tempat kakak kerja. Lalu uang upahnya kakak belikan obat untuk Bapak” tutur kak Nida ballik membentak ku dengan menghentakkan tangannya ke meja yg reot itu.

            Tiba-tiba terdengar suara gaduh seperti ada yang jatuh. Akuk dan kak Nida menoleh dan… ternyata itu Bapak jatuh tepat didepan rumah.
“Bapak…” teriak kami berdua
“Pak, Bapak kenapa keluar rumah! Nida kan sudah bilang, biar Nida yang kerja. Bapak tidur saja” Ucap kak Nida dg suara tersekat ditenggorokan dan airmata membanjiri pipinya.
“Lagian, tahu lagi sakit. Masih saja so kuat keluar” ujar ku kesal.
“Bapak keluar rumah cari kerja apa saja untuk membeli ayam goreng ini” ucap Bapak pelan dengan menyodorkan bungkusan kecil dalam plastik hitam.
“Bapak sempat mendengar permintaan Adel tadi pagi…”
“Tapi pak, seharusnya Bapak tidak usah kerja. Bapak lagi sakit” ucap kak Nida sembari menangis
“Taka pa, Adel… ambil ini nak, ayam goreng pesananmu. Maafkan Bapak jika selama ini belum pernah memberi kalian makanan yang enak”
“Nida, Bapak titip adikmu. Jaga dia baik-baik. Mungkin mulai dari sekarang dan seterusnya, Bapak tidak bisa menemani kalian lagi…” sambungnya dengan nafas terengah-engah, lalu… menghembuskan nafas terakhirnya
“Tidak… Bapak…” jerit kami berdua, merangkul Bapak yang sudah terbujur kaku.

            Rasa penyesalan yang amat dalam menyelimuti, karena ayam goreng yang aku bayangkan nikmat. Berubah menjadi ayam goreng petaka yang mengantarkan Bapak ketempat peristirahatan terakhirnya.


Karya : Reza Selawati Fauziah

Cerpen Muslimah



“JILBAB KAYLA”
KARYA : REZA SELAWATI FAUZIAH
Teng-teng-teng...
Bunyi bel menandakan istirahat telah usai,
“Kay,kay,kay..., tungguin gue!” teriak monik.
“Cepetan, lelet banget sih loe... sekarang tuh bembagian kelulusan kita!”.
“Hore... kita semua lulus!” teriak semua siswa dengan gembira.
“Tuh kan nik, gara-gara loe lelet gue gak bisa jadi murid yang pertama tau tentang kelulusan!”
“Udahlah kay, lagi pula kita semuakan lulus. Ribet banget sih loe!”

          Oopss, sory... gue sampe lupa ngelanin diri. Kenalin, nama gue Kayla checilia. Temen-temen biasa panggil gue dengan sebutan “Kay”. Gue anak pertama dari dua bersaudara, dan gue tumbuh dari keluarga brokenhome. Tak heran, kelakuan gue tomboy hehe J. Sekarang gue tinggal bersama nyokap, adik kecil gue, dan bokap tiri gue dalam lingkungan keluarga yang sederhana. Gue dari kecil terbiasa hidup mandiri, yah... beginilah hidup gue.
          Walaupun gue terkenal tomboy dan judes, gue punya banyak temen. Apalagi temen cowok, hehe J. Tapi gue gak punya temen cewek, mungkin mereka risih dengan penampilan gue yang urakan. Kecuali Monik, dia memang sohib terbaik gue. Dia yang selalu dukung gue untuk mengembangkan bakat design gue. Memang, gue punya bakat design dari gue masuk SMP.
          Dan sekarang, setelah gue keluar SMA gue semakin tertarik untuk mendalami bakat design gue. Sebenarnya alasan gue bukan hanya itu, tapi karena gue butuh duit buat kehidupan gue juga supaya bisa bantu perekonomian orang tua.
          Ketika gue melihat banyak kalangan remaja zaman sekarang yang sering memakai jilbab, yah... meskipun kebanyakan hanya untuk tampil modis aja. Terbesit dalam otak gue untuk membuat design jilbab. Hanya dengan modal coba-coba, gue mendesign jilbab untuk kalangan remaja. Kebetulan, nyokap gue bisa menjahit. Jadi, gak usah pergi jauh-jauh buat menjahit hasil design gue. Jilbab itu gue beri merk “Kayla”.
          Dipagi hari, gue coba memasarkan jilbab kepasar-pasar dekat rumah. Awalnya gue ragu, tapi gue tetep harus bisa menjual jilbab itu. Gila aja, kalau sampai gue gak bisa menjualnya mau makan apa gue hari ini?.
“Jilbab,jilbab,jilbab... jilbab Kayla model terbaru! Dijamin bisa tampil modis dan trendi... hayoh dipilih-dipilih...!”
Satu persatu para remaja mulai mendekat dan memilih jilbab hasil design gue.
“Mba, yang ini harganya berapa?”ujar salah satu pembeli.
“Semua dijual murah kok neng, semua jenis model harganya cuman Rp.15.000,-“
“Wah..., murah banget mba! Woy..., temen-temen beli jilbabnya disini aja. Bagus-bagus juga murah harganya!” teriak dia memanggil teman-temanya.
Dan ternyata..., dia bersama 15orang teman ceweknya. Alhasil, satu keranjang jilbab hasil design gue ludes diborong mereka. Ada yang membeli dua, satu, bahkan tiga jilbab.
“Mba, coba kalau pas waktu pulang sekolah mba jualannya didepan SMA kita aja. Biar kita gak usah jauh-jauh beli kepasar. Pasti laku deh, soalnya jilbab mba ini bagus!”
“Emangnya boleh jualan kesekolah? Gak bakal diusir tuh sama satpamnya?”
“Ya enggaklah mba, lagian mba kan jualannya pas kita bubar sekolah”.
“Oh iya deh kalau gitu neng, gue coba. SMA neng dimana?”
“SMA Cendrawasih mba...! eh mba, kalau boleh tau ini buatan siapa sih? Ko semua jilbabnya bermerk Kayla?”
“Kebetulan gue sendiri neng yang membuat designnya”
“Wow, mba hebat yah! Walaupun penampilan mba, maaf yah... terlihat urakan, tapi mba tau dan mengerti model jilbab yang disukai remaja cewek. Malahan, ini model jilbabnya unik”
“Makasih, emang kalau penampilan gue urakan gak boleh jualan kerudung buat nyari makan?”
“Enggak juga sih, ya udah ini uang kerudungnya”.

          Hari berganti bulan, jilbab design gue mulai banyak disukai kalangan remaja. Bahkan, anak cewek dari SMA Cendrawasih banyak yang pesan jilbab dengan design gambar kesukaan mereka. Gue juga sekarang jualan dipasar udah gak kepanasan lagi, gak seperti dulu cuman diatas si Oby sepeda kesayangan gue. Gue udah bisa sewa satu kios kecil dipasar terdekat.
          Diminggu pagi yang cerah, seperti biasa gue pergi kepasar untuk jualan jilbab ditemani Oby yang kini jadi sohib paling setia. Walaupun panas, hujan, berdebu. Ya iyalah, kan dia cuman sepeda. Hehe... J
Saat gue sedang mengayuh si Oby menuju pasar, tiba-tiba dari arah belakang ada mobil yang menyerempet gue dengan kencang. Otomatis gue jatoh bersama Oby juga semua jilbab jualan gue.
“Siit... mobil songong! Gak liat apa ada gue ama Oby. Mentang-mentang mobil mewah, orang kaya. Seenaknya aja pake jalan. Jadi aja, semua jilbab gue kotor!”ucap gue ngomel.
Ternyata saat gue ngomel-ngomel gak jelas, orang yang mengemudi mobil mewah itu berhenti dan keluar dari mobilnya menghampiri gue yang terjatuh.
“Maaf de, ade gak kenapa-napa?” ujarnya sambil mengulurkan tangan.
“Diem deh loe! Ade-ade, emangnya gue ade loe apa! Kalau bawa mobil hati-hati dong. Bahaya tau...”
 “Iya maaf, saya kan gak tau nama ade? Saya lagi buru-buru tadi. Soalnya ada telfon penting dari kantor. Kenalin saya Ferdi dan ini kartu nama saya, oh ya kita kerumah sakit aja yuk biar sekalian saya antar”
“Gue Kayla, iya tapi... gue gak bisa berdiri. Kaki gue sakit...”
Tak diduga, dia gendong gue menuju mobilnya. Oh my God, ternyata dia gak seperti yang gue kira. Dia baik... tapi? Kenapa hati gue jadi dag,dig,dug gak jelas gini ya?
“Duh, ada apa ya sama gue? Ko gue jadi nerfous gini? Hmm, ganteng juga si Ferdi”ujar gue dalam hati.
“Hey, Kayla? Kamu gak apa-apa kan? Ko bengong gitu mandangin saya?” ucap Ferdi membuyarkan lamunan gak jelas gue.
“Eh, gak apa-apa ko”
“Tadi saya sempat lihat, dikeranjang sepeda kamu ada banyak jilbab? Kamu jualan jilbab? Jilbabnya bagus juga...”
“Iya, itu jilbab hasil design gue. Makasih“.
          Setelah gue ke rumah sakit, Ferdi juga mengantarkan gue pulang ke rumah.
“Kayla, saya pamitan yah? Soalnya masih ada banyak urusan lain yang menunggu saya. Kalau kamu kenapa-napa, atau membutuhkan sesuatu kamu hubungi saya. Nomer hp saya ada dikartu nama. Ok?” ujar Ferdi
“I,i,iya Fer…”tanpa gue sadari, gue menahan tangan Ferdi.
“Ada apa Kayla?” ujarnya heran
“Ops, maaf… nggak ko. Gue Cuma mau bilang makasih” ujar gue tertunduk menutupi malu.
“Oh, iya sama-sama…” jawabnya sambil tersenyum, yang membuat hati gue jadi tak menentu.
          Semenjak kejadian itu, Ferdi sering berkunjung ke rumah gue untuk sekedar menanyakan kondisi kaki gue atau sekedar mengajak gue pergi untuk menghilangkan jenuh karena gue memang gak bisa berjalan.
          Disore hari yang cukup teduh, Ferdi mengajak gue ke taman dekat rumah untuk sekedar ngobrol.
“Kay, gimana dengan bisnis jilbab kamu? Apakah berhenti begitu saja?”
“Ya mau gimana lagi, kaki gue masih sakit. Jadi siapa yang mau menjual jilbab-jilbab gue?”
“Hmm, Kay kebetulan di supermarket yang saya kelola ada toko yang masih kosong. Kamu mau gak jualan disitu?”
“Hah? Serius loe Fer?” jawab gue spontan
“Serius Kay…”
“Tapi, darimana gue bisa bayar biaya sewanya? Sedangkan udah beberapa minggu gue gak jualan”
“Kamu gak usah mikirin hal itu, bisnis kamu terhenti gara-gara saya. Jadi saya harus bertanggungjawab”
“Baik banget sih loe Fer.., sekali lagi gue ucapkan beribu terimakasih untuk semuanya” ucap gue, tanpa sadar gue peluk Ferdi
“Iya, sama-sama Kay…”
          Hampir dua bulan lebih, semenjak gue berjualan ditoko pemberian Ferdi. Omset penjualan jilbab gue naik drastis. Kini, jilbab hasil design gue juga dijual melalui Oline yang dipromosikan oleh Ferdi.
          Namun, kedekatan gue dengan Ferdi tak disukai oleh Ibu Ratna (mamahnya Ferdi). Dia tak suka, karena melihat penampilan dan cara gue bicara yang apa adanya ini.
          Suatu saat, Ibu Ratna datang ke toko gue dengan wajah yang terlihat marah.
“Heh, cewek kampung yang gak tau diri. Kamu itu harusnya sadar, kamu itu gak pantes deket-deket anak saya. Saya tau, kamu cuma menginginkan harta yang dimiliki Ferdi aja kan?” ucapnya kasar dengan menarik rambut panjang gue.
Gue hanya terdiam, tak mampu menjawab. Hanya air mata yang mengalir membanjiri pipi gue.
Tiba-tiba Ferdi datang,
“Mam, apa-apaan ini? Lepasin Kayla! Dia gak seperti yang mamah bilang! Malah ini semua itu awalnya salah Ferdi yang sudah menyerempet dia”
“Ferdi, kamu sadar! Dia itu gak pantes dekat kamu. Dia gak setara sama kita! Liat aja penampilannya, urakan! Mamah gak suka!”
“Mamah jangan menilai seseorang dari penampilannya aja! Ferdi cinta sama Kayla! Apa adanya…”
Gue terkejut mendengar perkataan Ferdi, dan gue kaget ketika tiba-tiba Ferdi menghampiri lalu memeluk erat gue.
“Kay, aku cinta sama kamu. Kamu mau kan jadi pacar sekaligus calon istri aku?”bisik dia
Gue tak sanggup berkata, karena dalam hati kecil gue juga bilang bahwa gue juga cinta sama Ferdi.
***
          Seminggu lagi acara ulang tahun Ferdi yang ke-22 tahun, tapi gue bingung mau kasih kado apa buat dia? Karena dia punya segalanya. Gue termenung, dan akhirnya gue dapet kado yang cocok untuk Ferdi.
“Hmm, ya… gue harus berubah! Gue pasti bisa! Ini semua gue lakuin buat dia, juga buat kelangsungan hubungan gue sama dia” gerutu hati gue.
****
Malam itu, gue sempat ragu. Apakah gue pantes dengan perubahan penampilan gue ini?. Tapi gue mencoba untuk tetap yakin pada keputusan ini.
“Ferdi...”
Dia tampak terdiam, menatap gue lama dengan wajah keheranan.
“Fer, ini gue. Kayla…”
“Apa? Ini beneran kamu Kay?”
“Iya, masa kamu gak ngenalin aku sih? Memangnya kenapa? Gak cocok ya?”
“Nggak Kay, kamu… cantik banget! Kamu cocok berpakaian dan berjilbab seperti ini. Ter;ihat sangat anggun. Aku suka!”
Ibu Ratna pun tampak terkejut melihat perubahan gue. Dia menghampiri gue, awalnya gue takut dia mau ngusir gue dari acara pesta ulang tahun Ferdi malam itu.
“Ini Kayla?”
“Iya tante…”
Tak disangka, Ibu Ratna menarik tangan gue dan Ferdi keatas panggung.
“Perhatian semuanya…” ujar Ibu Ratna
“Hari ini, saya mamahnya Ferdi mau mengumumkan suatu hal yang penting. Bahwa anak saya, Ferdi telah menemukan belahan jiwanya yaitu Kayla”
Sorak soray dan tepuk tangan terdengar dari para tamu undangan yang hadir pada malam itu.
“Untuk acara pernikahannya akan diselenggarakan secepatnya. Karena saya sudah menginginkan seorang cucu” tambahnya
Gue gak nyangka banget, ternyata Ibu Ratna menyukai penampilan gue yang sekarang.
          Pada akhirnya, gue dan Ferdi pun menikah. Bahkan, semua hal yang menyangkut acara pernikahan ditangani oleh Ibu Ratna sendiri. Gue dan Ferdi amat sangat bahagia, karena cinta kita bisa bersatu.
          Kebahagian gue dan Ferdi tambah lengkap setelah beberapa bulan pernikahan, gue dinyatakan positif hamil. Semua keluargapun berbahagia.